GARUT- Jabartandang.com // Ramaldi ketua AWPI Kabupaten Purwakarta Menyusuri terkait Nama Sancang bagi sebagian warga Sunda sudah tidak asing lagi karena nama ini mirip dengan nama daerah pakidulan Garut “Leuweung Sancang” alias Hutan Sancang. Keberadaan Hutan Sancang sendiri terkait mitos Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang berubah wujud menjadi harimau (basa Sunda Maung) dan menetap di hutan sancang. Konon peristiwa itu terjadi karena Prabu Siliwangi tidak mau di-Islamkan oleh putranya yaitu ‘Kian Santang, Selasa ( 28/01/2025 )
Ramaldi mengatakan nama Kian Santang ini menjadi kontroversi. Apakah sosok sejarah ataukan sosok imajiner? ditambah lagi bahwa Kian Santang adalah kekeliruan penyebutan warga Sunda yang seharusnya “Kian Sancang”. Jadi mana yang benar ? ucap Ramaldi,
Prabu Siliwangi dan Prabu Kian Santang adalah sosok legendaris. Tidak main-main, nama Siliwangi diabadikan sebagai nama Komando Daerah Militer, KODAM III/Siliwangi. Demikian pula Batalyon Infantri Raider 301 Prabu Kian Santang. Tentunya kedua sosok legendaris ini adalah sosok historis. Hutan Sancang berlokasi di Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut Jawa Barat, mari kita telusuri,
Telusur terminologi Kian atau keyan perlu dilakukan. Kata kian berasal dari rakai ~rakean~rakryan. Istilah ini adalah sebuah gelar yang bisa kita telusuri dari Naskah Carita Parahyangan dan prasasti-prasasti Kerajaan Medang atau Mataram hindu. Pendiri Kerajaan Mataram Hindu adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (raka dari Mataram yang bernama Ratu Sanjaya). Sanjaya juga menjadi raja ke-2 Kerajaan Sunda-Galuh, sekaligus raja Kalingga san Mataram Hindu.
Pada masa Mataram Kuno di Jawa Tengah, terdapat sebuah gelar dalam prasasti-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-10, diantaranya yaitu raka atau rakai (kadang ditulis rake). Sesudah masa itu, gelar rakai cenderung tidak lagi dipakai, diganti dengan rakryan, yang tingkatnya sepadan dengan gelar rakai.adapun gelar rakryan (kadang ditulis rakeyan) kemungkinan besar merupakan gabungan dari kata raka dan aryan dan merajuk kepada gelar jabatan administrasi kerajaan.
Penggunaan gelar rakiyan mulai rajin dipergunakan pada masa Pu Sindok abad ke-10 di Jawa Timur dan berlangsung hingga zaman Kerajaan Kadiri, Singasari, dan Majapahit. Raka adalah seorang pemimpin atau penguasa yang telah berhasil menguasai sejumlah wanua (komunitas desa) yang disebut watak. Sederhana Raka adalah Kepala Daerah Watak.
Ada pun wanua adalah wilayah kecil yang dipimpin oleh seorang rama (bapak desa), dan gabungan dari sejumlah wanua disebut watak di mana namanya diberikan pada raka. Dewan yang terdiri atas para rama disebut karaman (arti harfiahnya “tanah para rama”).
Kembali kita lihat gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya yang bisa kita terjemahkan raka dari Mataram yang bernama Ratu Sanjaya. Sangat jelas bahwa Sanjaya adalah nama pribadinya, ia seorang raka di Mataram dan juga bergelar Ratu atau Raja Sanjaya. Di Tatar Sunda, menyebutnya sebagai “Rakai Sanjaya” atau “Rakiyan Sanjaya”.
Gelar Raka atau Rakryan diikuti nama tempat, bukan nama pribadi. Rakai Mataram diterjemahkan Raka di Mataram. Jadi yang benar penyebutannya Rakai Mataram, Sang Ratu Sanjaya. Jadi tidak mungkin penyebutannya Rakai Sanjaya yang diterjemahkan Raka di Sanjaya. Aneh bukan? Karena Sanjaya bukan nama tempat, tetapi nama priibadinya. Hal inilah yang membuat kita bingung bila membandingkan nama-nama rakai atau rakryan pada raja-raja Sunda dan galuh.
cukup banyak nama penguasa dan raja Jawa yang bergelar raka, misalnya Rakai Pikatan (Raka dari wilayah Pikata )
Ramaldi mengatakan sebagai turunan suku Sunda kita harus mengetahui tentang sejarah daerah kita sendiri supaya kita bisa bercerita kepada anak dan cucu kita di kemudian hari, walaupun kita hidup di jaman modern dan jaman digital, ucapnya
( Andi )