UU ITE: Dari Perlindungan Digital Menjadi Alat Represi Politik?

oleh -6 views

Jabartandang.com,” – Sejak disahkannya pada tahun 2008, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diharapkan menjadi payung hukum bagi aktivitas digital masyarakat Indonesia, terutama dalam hal transaksi elektronik, perlindungan data pribadi, dan penanggulangan kejahatan siber seperti peretasan, penipuan daring, dan kejahatan keuangan digital.

Namun dalam perjalanan praktiknya, UU ITE justru sering kali menjadi momok menakutkan bagi para aktivis, jurnalis, intelektual, dan warga biasa yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Bahkan tak sedikit yang masuk penjara karena unggahan di media sosial yang dianggap mencemarkan nama baik, menyebarkan hoaks, atau menimbulkan kebencian, padahal sejatinya hanya menyampaikan pendapat atau fakta yang berbeda dengan narasi penguasa.

Pasal Karet dan Ketidakpastian Hukum

Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 28 ayat (2) tentang penyebaran kebencian berdasarkan SARA, menjadi dua contoh pasal yang dianggap karet dan subjektif. Kedua pasal ini bisa ditafsirkan secara luas, tergantung siapa yang membaca dan siapa yang melapor. Ironisnya, pasal-pasal ini justru lebih sering digunakan untuk mengkriminalisasi kritik politik, bukan memberantas kejahatan digital sebagaimana amanat awal undang-undang ini.

Ketimpangan Penegakan Hukum

Dalam praktiknya, UU ITE kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Aktivis, mahasiswa, jurnalis, dan warga biasa lebih rentan terkena jerat hukum, sedangkan buzzer dan pendukung kekuasaan yang menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian sering kali dibiarkan. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa hukum tidak berjalan secara adil, dan justru dimanfaatkan untuk mempertahankan kekuasaan.

Demokrasi Digital yang Terancam

Media sosial adalah ruang publik baru bagi rakyat untuk menyuarakan opini, berbagi informasi, dan mengkritik kebijakan. Namun jika ruang ini dibungkam dengan ancaman pidana, maka yang tersisa hanyalah kebisuan kolektif dan ketakutan massal. Demokrasi tanpa kritik akan melahirkan otoritarianisme yang dibungkus legalitas.

Revisi atau Hapus Pasal Karet

Sudah saatnya pemerintah dan DPR melakukan revisi menyeluruh terhadap UU ITE, terutama pasal-pasal yang multitafsir dan potensial disalahgunakan. Tanpa itu, UU ITE hanya akan menjadi alat untuk membungkam oposisi, bukan melindungi warga dari kejahatan digital.

Penutup
Kritik bukan kejahatan, melainkan bagian dari demokrasi. Jika negara takut pada kritik, maka sesungguhnya negara itu sedang berjalan mundur menuju kegelapan otoritarian.

Tujuan Asli UU ITE

UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 (dan perubahannya UU No. 19 Tahun 2016) dibuat untuk mengatur transaksi elektronik, termasuk:

Perlindungan data dan informasi digital.

Pengaturan transaksi ekonomi berbasis digital.

Penanggulangan kejahatan siber seperti penipuan online, peretasan (hacking), dan pencurian data.

Mengapa Justru Menyasar Aktivis dan Pengkritik Pemerintah?

1. Pasal Karet:
Beberapa pasal seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian memiliki tafsir yang sangat luas dan subjektif.

Pasal-pasal ini sering dipakai bukan untuk kejahatan siber murni, tapi untuk menjerat kritik atau ekspresi politik.

2. Politisasi Hukum:
Penegakan UU ITE sering dituding tidak netral dan dipolitisasi, terutama ketika menyasar aktivis, jurnalis, dan oposisi, sementara buzzer pro pemerintah dibiarkan.

3. Ketimpangan Akses Hukum:
Rakyat kecil atau aktivis sulit mendapatkan perlindungan hukum, sementara pihak yang dekat dengan kekuasaan lebih mudah memanfaatkan pasal-pasal ini.

4. Alat Represif Digital:
Pemerintah atau oknum aparat dapat menggunakan UU ITE sebagai alat pembungkam demokrasi digital — seperti membungkam suara di media sosial, YouTube, atau blog.

Kesimpulan Kritis
UU ITE memang dirancang untuk era digital, tetapi dalam praktiknya telah bergeser menjadi instrumen pembungkaman. Jika tidak direvisi secara serius, UU ini akan terus mengancam kebebasan berekspresi, terutama di dunia maya. (Burhan)