Jabartandang.com,” – Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi daripada penduduk Hindia Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders. Pada kongres pertama SDI di Solo tahun 1906, namanya ditukar menjadi Sarikat Islam.
Pada tanggal 10 September 1912, HOS Tjokroaminoto menghadap notaris B. ter Kuile di Solo untuk membuat Sarikat Islam sebagai Badan Hukum dengan Anggaran Dasar SI yang baru, kemudian mendapatkan pengakuan dan disahkan oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 14 September 1912. Hos Tjokroaminoto mengubah yuridiksi SDI lebih luas yang dulunya hanya mencakupi permasalahan ekonomi dan sosial, kearah politik dan Agama untuk menyumbangkan semangat perjuangan islam dalam semangat juang rakyat terhadap kolonialisme dan imperialisme pada masa tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa organisasi pertama yang memperjuangkan rakyat Indonesia secara politik adalah Syarikat Islam.
SI yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai “Blok di dalam”, mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.
Mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi “SI Putih” yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan “SI Merah” yang dipimpin Semaoen. SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.
Jadi, Sarikat Dagang Islam berdiri karena menolak “istimewaisasi” pedagang Tionghoa oleh Belanda, berkembang menjadi Sarikat Islam yang memperjuangkan nasib rakyat Indonesia, lalu dikemudian hari pecah karena disusupi PKI.
Perlu diingat, kata “nasional” pertama kali dimasyarakatkan oleh Centraal Sjarikat Islam dalam National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama di Bandung tahun 1916, yang menuntut Indonesia merdeka atau pemerintahan sendiri. Anehnya, dalam sejarah dituliskan bahwa “nasionalisme” bukan dari gerakan Islam, tetapi dari Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung, tahun 1927, sebelas tahun setelah National Congres Syarikat Islam. PNI didirikan oleh Bung Karno, yang beliau adalah menantu dari Hadji Oemar Said Tjokroaminoto.
National Congres Centraal Sjarikat Islam menuntut Indonesia merdeka pada tahun 1916 M, tetapi dalam sejarah Indonesia dituliskan pelopornya adalah Bung Karno di depan Pengadilan Kolonial Belanda tahun 1929 M, atau Petisi Soetardjo yang menuntut Indonesia Merdeka.
Anehnya, tanggal pendirian Boedi Utomo, yaitu 20 Mei 1908, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal sampai dengan Kongres Boedi Utomo di Solo tahun 1928 M, Boedi Utomo MENOLAK pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Bahkan melalui medianya, Djawi Hisworo, Boedi Utomo berani MENGHINA Rasulullah SAW. Walaupun sudah menghina Rasulullah, umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia, tetap menaati keputusan Kabinet Hatta, 1948 M, yang menetapkan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, yaitu tanggal pendirian Boedi Utomo. MESTINYA, Hari Kebangkitan Nasional harus DIREVISI, yaitu berdasarkan penggunaan kata nasional pertama kali, yaitu National Congres Sjaarikat Islam yang menuntut kemerdekaan Indonesia.
Boedi Utomo berubah menjadi Partai Indonesia Raya, yang dipimpin oleh Dr. Soetomo. Dengan medianya Madjalah Bangoen, tidak beda dengan Djawi Hisworo, menerbitkan artikel yang MENGHINA Rasulullah SAW.
Maka dari tulisan singkat ini kita bisa melihat, sesungguhnya yang berjuang pertama kali memerdekakan Indonesia adalah para ulama dan santri, sampai ke pendirian NKRI, adalah karena jasa perjuanga para Ulama dan Santri. Tetapi sejarah Indonesia, dituliskan dengan mengesampingkan peran Ulama dan santri tersebut. Kita pun semestinya sadar, siapa yang benar-benar berjuang menegakkan negara ini, siapa yang berkomplot dengan penjajah, dan siapa yang berkhianat menyusupi pergerakan perjuangan Indonesia Merdeka.
DeIslamisasi sejarah nampaknya terus berlangsung, semisal tidak dihadirkannya tokoh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto, besutan Garin Noegroho. SM. Kartosoewirjo adalah tokoh pergerakan SI Putih bersama H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, dan salah satu murid HOS. Tjokroaminoto selain Bung Karno dan Semaoen.
Sampai kapanpun, tidak mungkin umat Islam mengkhianati NKRI, karena justru umat Islamlah yang memperjuangkan NKRI. (Pandi)